Kita
ingin hidup sebagai bangsa yang berwibawa. Kenapa harus berwibawa? Karena
wibawa adalah harga diri. Orang-orang yang tidak punya harga diri, mereka akan
diumpamakan seperti orang yang mati. Hidup, tapi seperti mati karena adanya
mereka seperti tiada. Para Samurai di Jepang mengakhiri hidup secara harakiri
saat mereka merasa kalah dalam menghadapi musuh, itu dilakukan demi harga diri.
Demi harga diri pula, bangsa Indonesia telah mengorbankan ribuan putra-putrinya
untuk mengusir para penjajah di era perjuangan meraih kemerdekaan dan upaya
mempertahankannya.
Hari
ini, wibawa negara kita telah rusak. Harga dirinya tercabik-cabik disebabkan
ulah para elit yang individualis. Kepentingan pribadi mereka lebih penting
daripada kepentingan bangsa. Akibatnya, semua sendi kehidupan kita dikontrol
oleh kepentingan asing. Di satu sudut problematika bangsa, kita gagal
memanfaatkan sumber daya alam kita semaksimalnya untuk menyejahterakan rakyat
kita karena para elit kita lebih mementingkan kepentingan asing ketimbang
memikirkan nasib rakyat Indonesia yang kian nestapa dalam duka dan laranya.
Hampir semua proyek pengolahan hasil alam kita dipegang oleh perusahaan asing.
Rakyat kita tetap tersiksa dalam ‘syurga’ penghasil sumber daya alam yang
melimpah.
Intervensi
asing
Lebih
75 persen sektor migas kita dikuasai korporasi asing seperti Chevron, Total
E&P 10 persen, Conoco Phillips, Medco Energy dan masih banyak lagi.
Pertamina “hanya” menguasai pasar migas Indonesia 16 persen. Bahkan, Intervensi
asing juga terlihat dalam pinjaman luar negeri pemerintah terhadap Bank Dunia
sebesar 141 Juta dolar AS pada 2003 dengan Loan No. 4712-IND untuk
pengembangan dan penguatan sektor energi di Jawa dan Bali(Dwitho Frasetiandy,
Tribunnews Banjarmasin, 22 Maret 2012). Pada konflik Papua, intervensi asing
terlihat dari pemberitaan yang begitu antusias ketika ada korban dari pihak
warga Papua. Seperti yang dikatakan oleh Komaruddin Hidayat, bahwa sumber daya
alam yang melimpah membuat Papua menjadi ‘gula manis’ bagi berbagai pihak
termasuk pihak asing untuk mencicipi dan meraup keuntungan didalamnya.
Di
sudut lain persoalan bangsa ini, hukum kita mudah saja diinjak-injak oleh
kepentingan asing. Kasus grasi Ratu Meriyuana Schapelle Corby adalah diantara
bukti terbaru yang konkrit. Presiden SBY memberikan grasi 5 tahun kepada
terpidana kasus narkoba asal Australia. Hatta Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahfud MD mempertanyakan pemberian grasi tersebut. “Kita sudah punya komitmen
4 kejahatan besar, itu salah satunya narkoba. Mestinya diberi hukuman yang
berat. Tapi Corby ini kenapa diberi grasi sementara yang lain tidak?” kata
Mahfud MD. Grasi ini secara tersirat memperlihatkan kepada kita bagaimana
negara kita tidak berdaya melawan kepentingan asing.
Dalam
sektor pendidikan, meskipun Indonesia telah lama merdeka, tapi sistem
pendidikan yang sekuler materialistik yang merupakan imperialisme gaya baru
masih tetap dipertahankan. Rancangan Undang Undang (RUU) Perguruan Tinggi (PT)
yang dipolemikkan dinilai sebagai ajang liberalisasi pendidikan. Sejumlah pasal
pada RUU PT tersebut berbau kapitalis karena memberikan kesempatan asing
mendirikan perguruan tinggi.
Kita
diintervensi di semua lini. Dimana harga diri dan wibawa kita sebagai bangsa
yang telah merdeka?
Intervensi
budaya lewat Lady Gaga dan Irshad Manji
Lady
Gaga akhirnya menolak untuk Konser di Indonesia. Tekanan bertubi-tubi dari
berbagai elemen masyarakat Indonesia diyakini banyak kalangan sebagai alasan
utama dibatalkannya konser tersebut. Lalu apa kaitannya antara Lady Gaga dan
kewibawaan bangsa Indonesia? Berbagai aksi masyarakat Indonesia untuk menolak
konser Lady Gagal adalah bukti bahwa masyarakat kita masih mencintai budayanya
dan menolak intervensi totalitas oleh budaya dan kepentingan asing. Masyarakat
kita menolak Lady Gaga bukan hanya karena dia dikenal sebagai ikon musik yang
lahir dari budaya bebas bangsa Amerika, tapi juga karena semua gaya hidup,
lirik lagu dan tarian-tarian Lady Gaga bermuara kepada pemujaan Syaitan,
mengumbar birahi dan seruan untuk meninggalkan moral agama. Penolakan masyarakat
kita kepada Lady Gaga ini adalah bukti bahwa bangsa kita masih berwibawa dalam
hal budaya. Bangsa kita masih cerdas untuk tidak menerima model budaya asing
yang tidak sesuai dengan nurani dan keyakinan transendentalnya. Dari hasil
polling detik, 64,52% menyatakan setuju dengan pelarangan konser Lady Gaga,
sedangkan Republika 83,11%
Sebelum
isu konser Lady Gaga booming di Media Massa, beberapa waktu
Indonesia juga didatangi oleh Irshad Manji yang juga menyerukan kepada
kebebasan dengan melepas diri dari moral agama. Irshad Manji dengan bukunya: “Allah,
Liberty and Love” mencoba memperkenalkan sebuah gerakan keberanian moral
versinya. Bahwa semua orang harus berani untuk keluar dari sekat-sekat aturan
agama menuju kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa perlu merasa salah ataupun
takut. Atas dasar ini, Irshad Manji yang menngaku sebagai Muslim dengan bangga
memperkenalkan dirinya sebagai seorang Lesbian. Meskipun Irshad Manji lebih
beruntung daripada Lady Gaga karena banyaknya diskusi untuk kebebasan tanpa
batas yang sempat dihadirinya, namun demikian suara-suara yang menolak seruan
Irshad Manji juga terdengar muncul dimana-mana walaupun tidak sedikit juga yang
turun ke jalan-jalan untuk “mendukung” Irshad Manji seperti yang terlihat di
Yogyakarta.
Pada
akhirnya, satu kesimpulan bisa kita ambil bahwa bangsa kita konsisten menolak
upaya intervensi asing dalam budaya kita. Pertanyaan sekarang, mampukah bangsa
ini tetap bersuara saat kepentingan asing mencoba mengintervensi tatanan hukum,
politik, pendidikan, militer, ekonomi kita dan sebagainya?
Momentum
memperbaiki kedaulatan bangsa
Salah
satu negara yang paling berwibawa di mata dunia saat ini adalah China. Negara
ini terbukti konsisten mampu menjaga wibawanya dengan menolak intervensi asing
dalam bentuk dan model apapun meskipun dengan resiko mendapat cap buruk oleh
media massa asing. Kita bisa melihat bagaimana China konsisten menolak semua
bentuk intervensi asing dalam urusan internal negaranya. Sebagai contoh kita
melihat bagaimana China menolak intervensi AS dalam memutuskan kebijakan mata
uangnya. Di satu sisi, mereka tetap bekerjasama dengan asing, tapi di sisi lain
mereka menolak intervensi dalam bentuk apapun. Hasilnya, China menjadi negara
besar yang disegani oleh kawan maupun lawan.
Untuk
menjadi bangsa berwibawa seperti China, mungkin kita butuh pemimpin yang tidak
bisa diatur oleh kepentingan asing. Kita butuh pemimpin yang serius bekerja
untuk kepentingan rakyat. Kita butuh pemimpin yang mampu mengawal konstitusi
kita. Namun demikian, melihat kondisi elitis negeri kita yang tidak mampu
melawan atas setiap intervensi asing, maka kita butuh masyarakat yang peduli
dan kritis untuk mengawal perjalanan bangsa ini menuju bangsa yang bermartabat.
Kita butuh komunitas-komunitas masyarakat yang berani mengkritisi pemerintah
selama itu untuk menyelamatkan konstitusi kita. Suara-suara atau bahkan aksi
kritis bangsa ini harus terus dirawat dan dipelihara dan bukan dimusuhi, karena
mereka adalah bagian dari bangsa ini. Mereka adalah kekuatan Indonesia yang bisa
dimanfaatkan untuk memperbaiki wibawa bangsa Indonesia. Sebagaimana masyarakat
kita yang bersatu menolak kehadiran Lady Gaga dan Irshad Manji karena dinilai
sebagai intervensi budaya asing, kita berharap suara kritis itu juga mampu
ditunjukkan untuk melawan intervensi pada tatanan kehidupan lainnya. Jika kita
mampu menghadang laju intervensi budaya asing, tentu kita juga akan mampu
menahan laju intervensi asing atas tatanan kehidupan lainnya, seperti pada
sektor ekonomi dan migas, politik, pendidikan dan sebagainya. Tidak mustahil
kan?
0 comments:
Post a Comment