Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi
ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer
bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah
menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998
telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena
kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah
dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
Tidak hanya
itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali
membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah
tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para
pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di
bank-bank syariah.
Hal ini
dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi
pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak
menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun
2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan
syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa
perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan
signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk
merealisasikannya.
Langkah
strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah
pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha
Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah.
Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang –
Undang perbankan no. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992
tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
Tabel 1.1 Perkembangan
Bank Syariah Indonesia
|
|||||||||
Indikasi
|
1998
KP/UUS
|
2003
KP/UUS
|
2004
KP/UUS
|
2005
KP/UUS
|
2006
KP/UUS
|
2007
KP/UUS
|
2008
KP/UUS
|
2009
KP/UUS
|
|
BUS
|
1
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
5
|
6
|
|
UUS
|
-
|
8
|
15
|
19
|
20
|
25
|
27
|
25
|
|
BPRS
|
76
|
84
|
88
|
92
|
105
|
114
|
131
|
139
|
|
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009.
|
|||||||||
Keterangan :
|
||
BUS
|
=
|
Bank Umum Syariah
|
UUS
|
=
|
Unit Usaha Syariah
|
BPRS
|
=
|
Bank Perkreditan
Rakyat Syariah
|
KP/UUS
|
=
|
Kantor Pusat/Unit
Usaha Syariah
|
Tabel
1.1 menunjukkan perkembangan perbankan syariah berdasarkan laporan tahunan BI
2009 (Desember 2009). secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh
membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun
1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah,
maka pada Desember 2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang
dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit
yang terdiri atas 6 Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu,
jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada
periode yang sama.
Tabel 1.2 Indikator
Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah)
|
|||||||
Indikasi
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
Aset
|
7.945
|
15.210
|
20.880
|
28.722
|
36,537
|
49.555
|
66.090
|
DPK
|
5.725
|
11.718
|
15.584
|
20.672
|
28.011
|
36.852
|
52.271
|
Pembiayaan
|
5.561
|
11.324
|
15.270
|
20.445
|
27.944
|
38.198
|
46.886
|
FDR
|
97,14%
|
96,64%
|
97,76%
|
98,90%
|
99.76%
|
103.65%
|
89.70%
|
NPF
|
2,34%
|
2,38%
|
2,82%
|
4,75%
|
4,07%
|
3.95%
|
4.01%
|
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah,
2009.
|
Tabel
1.2 menunjukkan perkembangan terakhir indikasi-indikasi perbankan syariah.
Perkembangan asset perbankan syariah meningkat sangat signifikan dari akhir
tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar lebih dari 33.37 persen.
Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74
persen.
Jika dilihat dari rasio
pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya dana pihak ketiga (DPK) yang
dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank syariah
memiliki rata-rata FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya dan tahun sesudahnya, pada tahun 2008 Financing to Defosit Ratio
perbankan syariah lebih dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena
pembiayaan yang disalurkan selama bulan maret – November 2008 lebih besar dari
Dana Pihak ketiga.
Yang perlu di catat
disini adalah, meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar dari DPK, tetapi
tingkat kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing Financing
(NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar
3.95%, masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya bank
syariah betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan
dengan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara
keseluruhan perbankan syariah relatif lebih sehat.
Tabel 1.3.
Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank
|
||||||
Islamic Bank(Des 08)
|
Total Bank
|
Islamic Bank(Des 09)
|
Total Bank
|
|||
Nominal
|
Share
|
Nominal
|
Share
|
|||
Total Asset
|
49,56
|
2.14%
|
2,310.60
|
66,09
|
2.61%
|
2,534.10
|
Deposit Fund
|
36,85
|
2.10%
|
1,753.30
|
52,27
|
2.65%
|
1,973.00
|
Credit Financial
Extended
|
38,20
|
-
|
-
|
46,88
|
-
|
-
|
FDR/LDR
|
103.66%
|
-
|
-
|
89.70%
|
-
|
-
|
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009
|
Pada
tabel 1.3 terlihat bahwa pangsa perbankan syariah meningkat jika dibandingkan
dengan tahun 2008 pada bulan yang sama, yaitu asset menjadi 2.61% meningkat
sebesar 0.47% , Deposit Fund atau DPK juga mengalami pertumbuhan menjadi 2,02%,
meningkat 0,24%. hal ini menunjukkan kinerja dan potensi perbankan syariah
mengalami perkembangan yang baik.
Gb. 1.4. Komposisi Pembiayaan Bank Syariah
Pada table 1.4 terlihat bahwa persentase
pembiayaan murabahah dengan prinsip jual-beli yang dilakukan oleh perbankan
syariah mendominasi jauh di atas dari pembiayaan mudharabah dan musyarokah.
Pada tahun 2003 terjadi perberdaan terbesar dimana persentase pembiayaan
mudharabah dan musyarokah hanya sebesar 14,36 dan 5,53 persen sedangkan
pembiayaan murabahah sebesar 70,81 persen. Namun sayangnya, meskipun pembiayaan
dengan prinsip jual – beli selalu mengalami penurun setiap tahunnya namun
jumlah persentasenya tidak pernah kurang dari lima-puluh persen.
Semestinya,
pembiayaan dengan akad mudharabah dan akad musyarakah harus lebih banyak.
Karena pada akad inilah karakteristik dasar perbankan syariah terbentuk. Kedua
akad tersebut merupakan akad dengan sistem bagi hasil. Perbankan syariah dengan
sistem bagi hasil inilah yang menjadi pembeda dengan bank konvensional.
Wallahu ‘alam
0 comments:
Post a Comment