Siapa
yang tidak mengenal Kota Depok. Kota Depok, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa
Barat, Indonesia. Kota ini terletak tepat di selatan Jakarta, yakni antara
Jakarta-Bogor. Kata Depok sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sunda yang
berarti pertapaan atau tempat bertapa. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa
kata Depok merupakan sebuah akronim dari De Eerste Protestants Onderdaan Kerk
yang artinya adalah Gereja Kristen Rakyat Pertama. Depok dahulu adalah kota
kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bogor, yang kemudian mendapat status kota
administratif pada tahun 1982. Sejak 20 April 1999, Depok ditetapkan menjadi
kotamadya (sekarang: kota) yang terpisah dari Kabupaten Bogor. Kota Depok
terdiri atas 11 kecamatan, yang dibagi menjadi 63 kelurahan.
Saat ini Depok sudah menjadi kota
yang ramai akan pusat pembelanjaan dan kuliner. Depok yang terkenal dengan
jalan utamanya yaitu Margonda memiliki banyak toko-toko yang beraneka ragam.
Mulai dari urusan kantor, otomotif, kuliner, hingga perumahan semua ada di
jalan utama ini. Hampir semua kegiatan warga Depok terpusat pada jalan
Margonda. Tapi, tahukah Anda siapa Margonda yang menjadi nama jalan tersebut?
Menelusuri
sejarah Margonda berarti kembali ke masa-masa revolusi saat peralihan kekuasaan
dari Belanda ke Jepang. Wenri Wanhar, penulis buku 'Gedoran Depok: Revolusi
Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955' menyebut Margonda adalah nama seorang pemuda
yang belajar sebagai analis kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor. Lembaga
ini dulunya bernama Analysten Cursus. Didirikan sejak permulaan perang dunia
pertama oleh Indonesiche Chemische Vereniging, milik Belanda.
Memasuki
paruh pertama 1940-an, Margonda mengikuti pelatihan penerbang cadangan di
Luchtvaart Afdeeling, atau Departemen Penerbangan Belanda. Namun tidak
berlangsung lama, karena 5 Maret 1942 Belanda menyerah kalah, dan bumi
Nusantara beralih kekuasaannya ke Jepang. Margonda lantas bekerja untuk Jepang.
Saat Jepang takluk dengan bom atom Amerika di Nagasaki dan Hiroshima pada tahun
1945, Margonda ikut aktif dengan gerakan kepemudaan yang membentuk
laskar-laskar. Margonda bersama tokoh-tokoh pemuda lokal di wilayah Bogor dan
Depok mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di
Jalan Merdeka, Bogor.
Sayangnya,
umur Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di bawah pimpinan Margonda relatif
singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo, KRISS dan kelompok
kecil sejenis lainnya. Sementara itu, wilayah Depok sejak lama menjadi 'daerah
istimewa'. Wilayah ini dikuasai oleh tuan tanah asal Belanda yang bernama
Cornelis Chastelein. Dia merupakan rombongan awal orang Belanda yang datang
pada masa awal kolonisasi VOC di Jawa. Sejarah juga menyebut, Depok sudah lebih
dulu merdeka sejak 28 Juni 1714. Mereka punya tatanan pemerintahan sendiri
yakni Gemeente Bestuur Depok yang bercorak republik. Pimpinannya seorang
presiden yang dipilih tiga tahun sekali melalui Pemilu. Chastelein mewariskan
seluruh tanahnya kepada 12 marga budaknya yang berasal dari berbagai Indonesia
dan memerdekakan mereka dalam wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal.
Meski
bermuka pribumi dan berkulit coklat, 12 marga dan keturunan mereka bergaya
hidup seperti orang Eropa, buah didikan sang tuan. Mereka inilah yang disebut
sebagai 'Belanda Depok'. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa Belanda. Kembali
ke masa revolusi, banyaknya kelompok kecil laskar dan para pejuang berakibat
petaka bagi para Belanda Depok itu. Pada 11 Oktober 1945, meletus peristiwa
Gedoran Depok. Depok diserbu para pejuang kemerdekaan. Para pejuang menilai
orang Depok tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Depok pun dikuasai para
pejuang. Kantor Gemeente Bestuur berubah fungsi menjadi markas Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) batalyon ujung tombak Jawa Barat pimpinan Ibrahim Adjie.
Sayangnya,
dalam peristiwa itu, jejak sejarah Margonda tidak tercatat. Yang pasti,
beberapa hari kemudian, pasukan NICA yang datang membonceng Sekutu menyerbu
Depok untuk membebaskan orang Depok yang ditawan TKR. Pejuang berhasil dipukul
mundur. Tawanan wanita dan anak-anak Depok dibebaskan, dibawa ke kamp pengungsian
di Kedunghalang, Bogor. Memasuki bulan November, para pejuang yang
tercerai-berai kembali menjalin koordinasi dan menyusun kekuatan. Mereka
berencana merebut kembali Depok dari tangan NICA. Mereka menyusun sebuah
serangan yang menggunakan sandi 'Serangan Kilat'. Pasukan NICA kelabakan tapi
Depok gagal direbut pejuang. Kedua pihak mengalami korban yang banyak. Saat
peristiwa itulah, keberadaan Margonda kembali muncul. Di antara ratusan pejuang
yang gugur hari itu, terdapat Margonda, pimpinan AMRI. Margonda gugur 16
November 1945 di Kali Bata, Depok daerah bersungai di kawasan Pancoran Mas,
Depok. Sungai yang bermuara di Kali Ciliwung itu menjadi saksi gugurnya
Margonda.
Nama
Margonda tercatat di Museum Perjuangan Bogor bersama ratusan pejuamg yang
gugur. Semasa berjuang, Margonda berkawan dekat dengan Ibrahim Adjie dan TB
Muslihat. TB Muslihat senasib dengan Margonda. Dia gugur dalam pertempuran.
Pemerintah Bogor membangun patung TB Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun
Bogor. Sementara Ibrahim Adjie, berhasil selamat. Dia berkarir menjadi tentara
dengan jabatan akhir Pangdam Siliwangi. Sejarawan UI JJ Rizal yang dikonfirmasi
merdeka.com, mengaku tidak tahu alasan pemerintah Bogor menjadikan jalan utama
di Kota Depok menggunakan nama Margonda. Depok dahulu adalah kota kecamatan
dalam wilayah Kabupaten Bogor
"Soal
pemberian nama jalan, kan semata-mata bukan urusan sejarah. Lebih kepada
politik. Selama ini, banyak nama tentara yang dijadikan nama jalan meski bukan
berasal dari daerah itu. Misalnya para tokoh pahlawan revolusi yang menjadi
jalan di berbagai wilayah," kata Rizal. "Seingat saya, nama Jalan
Margonda sudah ada sejak 1980-an," tandasnya.
Sumber:
Semua
sumber diakses tanggal 9 April 2013 pukul 14.35
0 comments:
Post a Comment