Suatu
siang di bulan Desember 2009. Ahmad Daryoko, Ketua Serikat Pekerja
Perusahaan Listrik Negara (SP-PLN) saat itu, memimpin kawan-kawannya saat
sidang pendahuluan uji-materi UU nomor 30/2009 tentang ketenagalistrikan di
Mahkamah Konstitusi. SP
PLN beranggapan bahwa UU ketenagalistrikan yang baru itu sangat bertentangan
dengan ayat ke-2 pasal 33 UUD 1945: “Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Pasalnya,
dengan kehadiran UU kelistrikan yang membolehkan privatisasi, maka kontrol
negara terhadap sektor kelistrikan pun semakin berkurang. Dengan begitu,
layanan listrik pun akan menjadi komoditi yang diperdagangkan secara bebas. Muncul
polemik saat itu: apa pengertian atau makna “dikuasai oleh negara“ sebagaimana
tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945? Berbagai
pendapat pun bermunculan, baik dari kalangan ekonom progressif maupun dari
kalangan ekonom pro-neoliberalisme.
Menteri
Negara BUMN saat itu, Mustafa Abubakar, dalam keterangan tertulis di sidang uji
materi UU nomor 30/2009 menafsirkan “dikuasai oleh negara” berarti
negara sebagai regulator, fasilitator, dan operator yang secara dinamis menuju
negara hanya sebagai regulator dan fasilitator.
Pendapat
semacam itu juga diadopsi oleh Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahkamah
Konstitusi, makna dikuasai oleh negara adalah rakyat secara kolektif mandat
kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan
begitu, menurut penafsiran MK, pasal Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak
privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara. MK
juga mengatakan bahwa pengusaaan negara terhadap badan usaha cabang produksi
tidak harus selalu 100%.
MK
berusaha menyimpulkan begini:
“Pemilikan
saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting
bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat
bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di
bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif
tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan
keputusan di badan usaha dimaksud.”
Lebih
jauh lagi, MK juga beranggapan bahwa Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide
kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan
penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad),
mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi
(toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau
yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Dengan
pijakan tafsiran itu, maka pantas saja jika lembaga penafsir konstitusi itu
menolak uji materi terhadap UU nomor 30/2009. Rupanya, paradigma berfikir yang
dominan di Mahkamah Konstitusi adalah liberalisme.
Tafsiran
terhadap pasal 33 UUD 1945 itu sebetulnya tidak perlu, jikalau semua orang bisa
memahami penjelasan pasal pasal 33 UUD 1945 sebelum perubahan, yang berbunyi: “Perekonomian
berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke
tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya
perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan
orang-seorang”.
Menurut
Professor Sri Edi Swasono, salah seorang ekonom kerakyatan dari Universitas
Indonsia, dari segi imperativisme suatu Undang-Undang Dasar, maka “mengusai”
haruslah disertai dengan “memiliki”. Sebab, jika tidak disertai penegasan
memiliki, maka pengusaan negara tidak akan berjalan efektif, apalagi dalam
tata-main era globalisasi saat ini.
Menurutnya,
ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 merupakan penegasan dari makna demokrasi eonomi,
yaitu perekonomian diselenggarakan demi kesejahteraan sosial bagi rakyat.
Kepentingan rakyatlah yang utama bukan kepentingan orang-seorang, meskipun hak
warganegara orang-seorang tetap dihormati.
“Privatisasi
yang terjadi di lingkungan Kementerian Negara BUMN, yang menjuali BUMN demi
demokratisasi (Barat), melawan UUD 1945,” kata Prof Sri Edi Swasono dalam
testimoninya di sidang uji materi UU nomor 30/2009 di Mahkamah Konstitusi.
Memang,
pada peringatan Hari Koperasi, 12 Juli 1977, Bung Hatta berusaha memberikan
sebuah defenisi yang longgar mengenai makna “dikuasai oleh negara” itu. Menurut
Bung Hatta, makna “dikuasai” oleh negara dalam pasal 33 UUD 1945 tidak berarti
negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan, atau ondernemer. Lebih
tepat, kata Hatta, jika dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada
pembuatan peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, sebuah peraturan yang
melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal.
Menurut
Rudi Hartono, salah seorang peneliti dari Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu
Sosial (LPMIS), penafsiran terhadap pasal 33 UUD 1945 tidak bisa dipisahkan
dari semangat dari para penyusunnya dan kondisi historis yang melingkupinya.
Rudi
Hartono secara khusus merujuk kepada pemikiran Bung Karno tentang
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Katanya, jika kita menjadi kedua konsep
itu sebagai acuan, maka UUD 1945 merupakan penegasan konstitusional untuk
menolak segala bentuk kolonialisme, imperiaisme, bahkan kapitalisme.
Harus
diingat, kata dia, Bung Karno adalah ketua Panitia Perancang Undang-Undang
Dasar. Jadi, fikiran beliau sangat banyak tercurahkan dalam penyusunan UUD
1945. Saat itu, anggota Badan Penyelidik dipilah-pilah menjadi Panitia
Perancang Undang-Undang Dasar dengan ketua Soekarno, Panitia Pembelaan Tanah
Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Panitia Ekonomi dan Keuangan
dengan ketua Mohammad Hatta.
Selain
itu, untuk merekam semangat para pendiri bangsa, maka ada baiknya membuka
kembali naskah dan dokumen-dokumen rapat Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan
untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan.
Panitia
Keuangan dan Perekonomian, sebuah panitia bentukan BPUPKI yang diketuai
Mohammad Hatta –dalam Soal Perekonomian Indonesia Merdeka, merumuskan
pengertian dikuasai oleh Negara sbb:
- Pemerintah harus menjadi pengawas
dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat;
- Semakin besarnya perusahaan dan
semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena
semakin besar mestinya penyertaan pemerintah;
- Tanah air haruslah dibawah
kekuasaan Negara; dan
- Perusahaan tambang yang besar
dijalankan sebagi usaha Negara.
Lalu,
menurut Rudi Hartono, kita juga tidak bisa menafikan latar-belakang historis
pembentukan UUD 1945. “UUD 1945 disusun dalam semangat untuk keluar dari
penjajahan selama ratusan tahun. Karena itu, hampir semua filosofi dan semangat
dalam pembukaan maupun pasal UUD 1945 adalah penegasan untuk melawan
penjajahan,” ujarnya.
Rudi
menganggap tafsiran Meneg BUMN dan MK keluar dari kerangka filosofis yang
dikehendaki oleh para pendiri bangsa dan mengabakan aspek historis yang
melahirkan perasaan kebangsaan saat itu.
“Mereka
menafsirkan pasal 33 UUD dalam semangat turut berkifrah dalam globalisasi
neoliberal sekarang ini. Maka, jangan heran bila penafsiran mereka sangat
pro-neoliberal,” ujar aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini. (Ulfa
Ilyas)
Sumber :
http://www.berdikarionline.com/lipsus/liputan-khusus-menuju-launching-gerakan-pasal-33/20110715/makna-%E2%80%9Cdikuasai-oleh-negara%E2%80%9D-dalam-pasal-33-uud-1945.html
0 comments:
Post a Comment