Ilmu layaknya isian risol, beraneka ragam namun satu kenikmatan.

Tuesday, April 30, 2013

PNS: Kerja Sedikit Kok Digaji Besar

3:17 PM Posted by Agus Hadi Muhidin , , No comments

Baru saja pemerintah mengeluarkan PP Nomor 22/2013 tentang Peraturan Besaran Gaji Pokok PNS 2013. PP tersebut intinya menegaskan bahwa gaji PNS untuk semua golongan naik. Untuk pangkat terrendah Golongan I/a dengan masa kerja 0 tahun kurang lebih Rp. 1,3 jt, dan untuk Golongan tertinggi IV/e  dengan masa kerja 30 tahun sekitar Rp. 5 jt. Tentu ini menjadi kabar menggembirakan bagi para PNS, namun sekaligus kabar buruk bagi rakyat kecil, karena biasanya kenaikan gaji PNS akan diikuti melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Terlebih lagi pemerintah juga berencana menaikkan harga BBM, tarif listrik dan momen mendekati bulan puasa dan hari raya Idul Fitri.

Terlepas dari itu semua, layakkah gaji PNS dinaikkan, sementara kinerja PNS masih banyak diragukan efektifitas dan produktivitasnya. Mari coba dihitung perbandingan antara gaji dan jumlah waktu kerja PNS.

Dalam sehari ada 24 jam, sedangkan jumlah waktu kerja PNS pada umumnya adalah 8 jam dalam sehari yakni dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Atau dengan kata lain, PNS bekerja 1/3 dari jumlah jam dalam sehari. Lalu kita hitung, dalam satu tahun ada 365 hari, berarti jumlah hari yang dihabiskan untuk bekerja PNS adalah 1/3X365 hari = 122 hari.

Dalam satu tahun ada 48 minggu, dan hari sabtu dan minggu adalah hari libur bagi PNS. Jadi dalam satu tahun ada 96 hari libur bagi PNS (yakni sabtu dan minggu). Berarti dalam satu tahun jumlah hari kerja PNS adalah 122 hari - 98 hari = 24 hari. Lagi…, dalam satu tahun rata-rata ada 10 hari Libur nasional seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Nyepi, Waisak, tahun Baru dsb. Total hari kerja PNS adalah 24 hari-10 hari= 14 Hari.

Bagi PNS dalam satu tahun juga ada hak cuti tahunan selama 12 hari kerja, jika PNS tersebut mengambil cuti tahunan tersebut, berarti jumlah hari kerjanya tinggal 2 hari, yakni 14 hari-12 hari. Nah..lho…! PNS hanya kerja 2 hari dalam setahun mendapat gaji sebesar Rp. 1,3 s.d. Rp.5 jt per bulan atau sebesar Rp. 15,6 Juta s.d. Rp.60jt per tahun, apakah masih dianggap kecil? Belum lagi PNS yang sering bolos, ijin sakit, cuti melahirkan dsb?



Perkembangan Bank Syariah di Indonesia

2:04 PM Posted by Agus Hadi Muhidin , , No comments

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan.

Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.

Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.

Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.

Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang – Undang perbankan no. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.


Tabel 1.1 Perkembangan Bank Syariah Indonesia
Indikasi
1998
KP/UUS
2003
KP/UUS
2004
KP/UUS
2005
KP/UUS
2006
KP/UUS
2007
KP/UUS
2008
KP/UUS
2009
KP/UUS
BUS
1
2
3
3
3
3
5
6
UUS
-
8
15
19
20
25
27
25
BPRS
76
84
88
92
105
114
131
139
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009.

Keterangan :
BUS
=
Bank Umum Syariah
UUS
=
Unit Usaha Syariah
BPRS
=
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
KP/UUS
=
Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah

Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan perbankan syariah berdasarkan laporan tahunan BI 2009 (Desember 2009). secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Desember 2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang sama.

Tabel 1.2 Indikator Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah)
Indikasi
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Aset
7.945
15.210
20.880
28.722
36,537
49.555
66.090
DPK
5.725
11.718
15.584
20.672
28.011
36.852
52.271
Pembiayaan
5.561
11.324
15.270
20.445
27.944
38.198
46.886
FDR
97,14%
96,64%
97,76%
98,90%
99.76%
103.65%
89.70%
NPF
2,34%
2,38%
2,82%
4,75%
4,07%
3.95%
4.01%

Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009.

Tabel 1.2 menunjukkan perkembangan terakhir indikasi-indikasi perbankan syariah. Perkembangan asset perbankan syariah meningkat sangat signifikan dari akhir tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar lebih dari 33.37 persen. Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74 persen.



Jika dilihat dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya dana pihak ketiga (DPK) yang dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank syariah memiliki rata-rata FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya, pada tahun 2008 Financing to Defosit Ratio perbankan syariah lebih dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan yang disalurkan selama bulan maret – November 2008 lebih besar dari Dana Pihak ketiga.

Yang perlu di catat disini adalah, meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar dari DPK, tetapi tingkat kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing Financing (NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar 3.95%, masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya bank syariah betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara keseluruhan perbankan syariah relatif lebih sehat.

Tabel 1.3. Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank
Islamic Bank(Des 08)
Total Bank
Islamic Bank(Des 09)
Total Bank
Nominal
Share
Nominal
Share
Total Asset
49,56
2.14%
2,310.60
66,09
2.61%
2,534.10
Deposit Fund
36,85
2.10%
1,753.30
52,27
2.65%
1,973.00
Credit Financial Extended
38,20
-
-
46,88
-
-
FDR/LDR
103.66%
-
-
89.70%
-
-

Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009

Pada tabel 1.3 terlihat bahwa pangsa perbankan syariah meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2008 pada bulan yang sama, yaitu asset menjadi 2.61% meningkat sebesar 0.47% , Deposit Fund atau DPK juga mengalami pertumbuhan menjadi 2,02%, meningkat 0,24%. hal ini menunjukkan kinerja dan potensi perbankan syariah mengalami perkembangan yang baik.

Gb. 1.4. Komposisi Pembiayaan Bank Syariah
Pada table 1.4 terlihat bahwa persentase pembiayaan murabahah dengan prinsip jual-beli yang dilakukan oleh perbankan syariah mendominasi jauh di atas dari pembiayaan mudharabah dan musyarokah. Pada tahun 2003 terjadi perberdaan terbesar dimana persentase pembiayaan mudharabah dan musyarokah hanya sebesar 14,36 dan 5,53 persen sedangkan pembiayaan murabahah sebesar 70,81 persen. Namun sayangnya, meskipun pembiayaan dengan prinsip jual – beli selalu mengalami penurun setiap tahunnya namun jumlah persentasenya tidak pernah kurang dari lima-puluh persen.
Semestinya, pembiayaan dengan akad mudharabah dan akad musyarakah harus lebih banyak. Karena pada akad inilah karakteristik dasar perbankan syariah terbentuk. Kedua akad tersebut merupakan akad dengan sistem bagi hasil. Perbankan syariah dengan sistem bagi hasil inilah yang menjadi pembeda dengan bank konvensional.


Wallahu ‘alam


Bahan Referensi http://www.bi.go.id

Monday, April 29, 2013

Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945

9:59 PM Posted by Agus Hadi Muhidin , , No comments

Suatu siang di bulan Desember 2009.  Ahmad Daryoko, Ketua Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP-PLN) saat itu, memimpin kawan-kawannya saat sidang pendahuluan uji-materi UU nomor 30/2009 tentang ketenagalistrikan di Mahkamah Konstitusi. SP PLN beranggapan bahwa UU ketenagalistrikan yang baru itu sangat bertentangan dengan ayat ke-2 pasal 33 UUD 1945:  “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”

Pasalnya, dengan kehadiran UU kelistrikan yang membolehkan privatisasi, maka kontrol negara terhadap sektor kelistrikan pun semakin berkurang. Dengan begitu, layanan listrik pun akan menjadi komoditi yang diperdagangkan secara bebas. Muncul polemik saat itu: apa pengertian atau makna “dikuasai oleh negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2)  dan (3) UUD 1945? Berbagai pendapat pun bermunculan, baik dari kalangan ekonom progressif maupun dari kalangan ekonom pro-neoliberalisme.

Menteri Negara BUMN saat itu, Mustafa Abubakar, dalam keterangan tertulis di sidang uji materi UU nomor 30/2009 menafsirkan “dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai regulator, fasilitator, dan operator yang secara dinamis menuju negara hanya sebagai regulator dan fasilitator.

Pendapat semacam itu juga diadopsi oleh Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahkamah Konstitusi, makna dikuasai oleh negara adalah rakyat secara kolektif mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan begitu, menurut penafsiran MK, pasal Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara. MK juga mengatakan bahwa pengusaaan negara terhadap badan usaha cabang produksi tidak harus selalu 100%.

MK berusaha menyimpulkan begini:
“Pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha dimaksud.”

Lebih jauh lagi, MK juga beranggapan bahwa Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan pijakan tafsiran itu, maka pantas saja jika lembaga penafsir konstitusi itu menolak uji materi terhadap UU nomor 30/2009. Rupanya, paradigma berfikir yang dominan di Mahkamah Konstitusi adalah liberalisme.
Tafsiran terhadap pasal 33 UUD 1945 itu sebetulnya tidak perlu, jikalau semua orang bisa memahami penjelasan pasal pasal 33 UUD 1945 sebelum perubahan, yang berbunyi: “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang-seorang”.

Menurut Professor Sri Edi Swasono, salah seorang ekonom kerakyatan dari Universitas Indonsia, dari segi imperativisme suatu Undang-Undang Dasar, maka “mengusai” haruslah disertai dengan “memiliki”. Sebab, jika tidak disertai penegasan memiliki, maka pengusaan negara tidak akan berjalan efektif, apalagi dalam tata-main era globalisasi saat ini.

Menurutnya, ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 merupakan penegasan dari makna demokrasi eonomi, yaitu perekonomian diselenggarakan demi kesejahteraan sosial bagi rakyat. Kepentingan rakyatlah yang utama bukan kepentingan orang-seorang, meskipun hak warganegara orang-seorang tetap dihormati.

“Privatisasi yang terjadi di lingkungan Kementerian Negara BUMN, yang menjuali BUMN demi demokratisasi (Barat), melawan UUD 1945,” kata Prof Sri Edi Swasono dalam testimoninya di sidang uji materi UU nomor 30/2009 di Mahkamah Konstitusi.

Memang, pada peringatan Hari Koperasi, 12 Juli 1977, Bung Hatta berusaha memberikan sebuah defenisi yang longgar mengenai makna “dikuasai oleh negara” itu. Menurut Bung Hatta, makna “dikuasai” oleh negara dalam pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan, atau ondernemer. Lebih tepat, kata Hatta, jika dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada pembuatan peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, sebuah peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal.

Menurut Rudi Hartono, salah seorang peneliti dari Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), penafsiran terhadap pasal 33 UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dari semangat dari para penyusunnya dan kondisi historis yang melingkupinya.

Rudi Hartono secara khusus merujuk kepada pemikiran Bung Karno tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Katanya, jika kita menjadi kedua konsep itu sebagai acuan, maka UUD 1945 merupakan penegasan konstitusional untuk menolak segala bentuk kolonialisme, imperiaisme, bahkan kapitalisme.

Harus diingat, kata dia, Bung Karno adalah ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Jadi, fikiran beliau sangat banyak tercurahkan dalam penyusunan UUD 1945. Saat itu, anggota Badan Penyelidik dipilah-pilah menjadi Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan ketua Soekarno, Panitia Pembelaan Tanah Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Mohammad Hatta.

Selain itu, untuk merekam semangat para pendiri bangsa, maka ada baiknya membuka kembali naskah dan dokumen-dokumen rapat Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan.

Panitia Keuangan dan Perekonomian, sebuah panitia bentukan BPUPKI yang diketuai Mohammad Hatta –dalam Soal Perekonomian Indonesia Merdeka, merumuskan pengertian dikuasai oleh Negara sbb:
  1. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat;
  2. Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya penyertaan pemerintah;
  3. Tanah air haruslah dibawah kekuasaan Negara; dan
  4. Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagi usaha Negara.
Lalu, menurut Rudi Hartono, kita juga tidak bisa menafikan latar-belakang historis pembentukan UUD 1945. “UUD 1945 disusun dalam semangat untuk keluar dari penjajahan selama ratusan tahun. Karena itu, hampir semua filosofi dan semangat dalam pembukaan maupun pasal UUD 1945 adalah penegasan untuk melawan penjajahan,” ujarnya.

Rudi menganggap tafsiran Meneg BUMN dan MK keluar dari kerangka filosofis yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa dan mengabakan aspek historis yang melahirkan perasaan kebangsaan saat itu.

“Mereka menafsirkan pasal 33 UUD dalam semangat turut berkifrah dalam globalisasi neoliberal sekarang ini. Maka, jangan heran bila penafsiran mereka sangat pro-neoliberal,” ujar aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini.  (Ulfa Ilyas)

Sumber :
http://www.berdikarionline.com/lipsus/liputan-khusus-menuju-launching-gerakan-pasal-33/20110715/makna-%E2%80%9Cdikuasai-oleh-negara%E2%80%9D-dalam-pasal-33-uud-1945.html

Friday, April 19, 2013

Sejarah Kota Kelahiranku

10:28 PM Posted by Agus Hadi Muhidin , No comments

Hari itu, 22 Januari 1857, langit Rangkasbitung dihiasi awan putih bersemu kelabu ketika seorang Belanda yang ditugaskan sebagai Asisten Residen di Kabupaten Lebak berpidato. Puluhan orang berbaju rapih, duduk berjajar teratur menghadap sang Asisten Residen yang baru dilantik itu. Suasana takzim terpancar dari roman muka hadirin, terlebih dari sinar mata Asisten Residen yang memulai pidatonya.

”Tapi saya lihat, bahwa rakyat tuan-tuan  miskin, dan itulah yang ”menggembirakan” hati saya.... Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya? Bukankah banyak kekeliruan di negeri tuan?”

Demikianlah tukilan pidato Eduard Douwes Dekker alias Multatuli alias Max Havelaar di hadapan para petinggi Kabupaten Lebak. Pidato yang kritis itu dilakukan di serambi kantor di Rangkasbitung, sehari setelah pengangkatannya sebagai Asisten Residen Lebak.

Pernyataan kegembiraan Douwes Dekker mengenai banyaknya rakyat miskin di Kabupaten Lebak bermakna sebagai sindiran halus, bagi para petinggi di Rangkasbitung. Melalui sindiran itu, dia berharap terjadi perubahan kinerja di kalangan pemerintahan di Rangkasbitung, yang saat itu terkenal korup.

Tingginya pajak, panen yang selalu gagal, kesenjangan ekonomi-sosial yang lebar dan menurunnya produksi ternak, menjadi sebuah keniscayaan yang tak terelakkan bagi penduduk Rangkasbitung, dan Lebak pada umumnya. Korupsi besar-besaran di kalangan pejabat pemerintahan kala itu, pun semakin menurunkan standar hidup penduduk. Situasi ini  juga dialami di hampir seluruh daerah di Banten. Sehingga, pada masa selanjutnya, beberapa faktor pemiskinan tersebut, menjadi pemicu gerakan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.

Begitulah kondisi umum Kabupaten Lebak di zaman kolonial, yang digambarkan secara gamblang oleh Douwes Dekker dalam novelnya ”Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda”. Benar, Douwes Dekker tak pernah berhasil mengangkat taraf hidup penduduk Lebak lebih baik; alih-alih, melalui sebuah konspirasi rivalnya, ia difitnah dan berhasil dicampakkan dari jabatannya sebagai Asisten Residen. Namun demikian, kendati dia seorang pegawai kolonial, semangatnya untuk melakukan perubahan dan meningkatkan taraf hidup penduduk Lebak, menjadi contoh yang patut ditiru.
  
Rangkasbitung dan Revolusi Indonesia

Kemiskinan telah menjadi keseharian penduduk Lebak. Dan dampaknya dari faktor itu pula, sifat radikalisme terbangunkan. Sejak pemberontakan komunis 1926, Rangkasbitung sebagai ibukota Lebak, menjadi kota terpenting kedua di Banten setelah Serang. Kota ini selalu dijadikan basis pergerakan politik para tokoh revolusioner Banten.

Pada Juni 1945 misalnya, menjelang menyerahnya Jepang, beberpa pemuda Banten yang tergabung dalam Badan Pembantu Keluarga Peta (BPP) dan beberapa unsur pemuda lainnya, mengadakan sebuah pertemuan rahasia di kediaman Tachril, di Rangkasbitung. Pertemuan yang disponsori oleh BPP itu, dilakukan untuk membicarakan kemungkinan kemerdekaan Indonesia pasca menyerahnya Jepang dan memilih wakil Banten untuk menghadiri konferensi pemuda di Jakarta pada 9 Agustus 1945.

BPP adalah sebuah organisasi sosial yang memberikan bantuan kepada keluarga dari prajurit-prajurit Peta dan Heiho yang sudah meninggal. Organisasi ini menerbitkan dua kali sebulan majalahnya, dengan nama Pradjurit. Majalah ini dipimpin oleh Oto Iskandardinata dan Sjamsudin Sutan Makmur (Nugroho Notosusanto: 1979).

Dalam pertemuan Rangkasbitung itu, hadir pula Tan Malaka, tokoh pergerakan yang ketika berada di Banten mengubah namanya menjadi Ilyas Husein. Sebagian besar pemuda yang hadir dalam pertemuan, menyatakan akan memutuskan setiap hubungan kerjasama dengan Jepang dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebagian kecil lainnya berpendapat, masih perlu menjalin kerjasama dengan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Di tengah hiruk pikuk perdebatan, Tan Malaka mengemukakan pendapatnya, supaya perbedaan taktis itu hendaknya diselesaikan di konferensi Jakarta saja. Kemudian Tan Malaka menambahkan, bahwa perlu dibentuk sebuah organisasi sendiri dengan pemimpinnya sendiri yang sama sekali tak berhubungan dengan Jepang. Akhirnya pertemuan diakhiri dengan memilih Tan Malaka sebagai wakil Banten. Selain itu, terpilih juga enam orang radikal lainnya, Tje Mamat adalah salah satunya.

Pertemuan Rangkasbitung tersebut jarang disebut, dalam sejarah Indonesia, kecuali dicatat dalam laporan Tan Malaka, yang kemudian dikutip oleh Harry A. Poeze dalam bukunya ”Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka 1925-1945”. Pertemuan Rangkasbitung itu, diyakini menjadi tonggak awal beberapa peristiwa  lain yang mewarnai kondisi politik Banten selama periode awal revolusi.

Dewan Perwakilan dan Terbunuhnya Bupati R.T. Hardiwinangun

Hubungan tokoh-tokoh revolusioner di Banten dengan Tan Malaka pada periode Jepang hingga masa awal kemerdekaan Indonesia, terjalin dengan dekat. Tokoh besar yang riwayatnya diselubungi misteri itu berhasil menanamkan pengaruh kuat dikalangan tokoh-tokoh tersebut. Didirikannya Dewan Rakyat oleh Tje Mamat diyakini, oleh karena anjuran Tan Malaka kepada segenap eksponen perjuangan di Banten, untuk mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan demi kemerdekaan rakyat semata.

Kekacauan politik dan kekosongan pemerintahan, menyebabkan munculnya tindakan-tindakan beberapa kelompok politik, khususnya veteran pemberontakan 1926, untuk membalaskan dendam mereka kepada pejabat pemerintah, polisi dan orang-orang  Belanda. Suasana revolusi yang euforistik mendorong kaum ulama mengambil alih kepemimpinan. Atas dasar itulah K.H. Achmad Chatib diangkat sebagai residen Banten. Kendati demikian, pemerintahan yang baru itu tak dapat segera mengendalikan keadaan. Pembunuhan tetap terjadi dimana-mana.

Di pihak lain, Tje Mamat dengan Dewan Perwakilan Rakyatnya semakin leluasa bergerak, bahkan dalam level tertentu mereka menjelma, menjadi penguasa Banten yang sesungguhnya. Tujuan mereka hanyalah satu: mencapai kemerdekaan rakyat Indonesia yang hakiki. Hubungan Dewan Rakyat dengan Pemerintahan Pusat RI di Jakarta yang renggang, membuat gusar Presiden Soekarno. Beberapa media massa di Jakarta memberitakan bahwa Banten, dibawah kendali Dewan Rakyat akan memisahkan diri dari Republik. Aksi bersenjata untuk membubarkan Dewan Rakyat pun dilakukan oleh TKR, Namun hal  itu tak semudah yang diperkirakan pemerintah Jakarta. Dewan Rakyat tetap berkuasa.

Hingga akhirnya, Presiden Soekarno disertai Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Jaksa Agung Mr. Kasman Singodimedjo, mengunjungi Serang dan Rangkasbitung pada tanggal 9-12 Desember 1945. Dalam pidatonya di Rangkasbitung, Bung Karno mengatakan, bahwa kedaulatan rakyat jangan ditafsirkan secara harfiah. Adalah penting untuk menjaga persatuan nasional dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Bung Hatta yang terkenal pendiam pun turut bicara, ia mengatakan, bahwa Dewan Rakyat tak berguna dan harus dibubarkan.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta berada di Rangkasbitung, beberapa anggota Dewan Rakyat menculik dan membunuh Bupati Lebak R.T. Hardiwinangun di daerah Cisiih. Para penculik datang kepadanya dengan mengaku sebagai utusan Presiden Soekarno. Peristiwa pembunuhan itu tidak lain bertujuan untuk menunjukkan kepada Presiden Soekarno, bahwa Dewan Rakyat tidak main-main dengan tujuannya. Tetapi pada akhirnya Dewan Rakyat dibubarkan, dan para pembunuh Bupati R.T. Hardiwinangun berhasil ditangkap. Banten tetap menjadi bagian integral Republik Indonesia.

Setitik Rangkasbitung dalam Belanga Sejarah Indonesia

Seluruh rangkaian peristiwa tersebut, menunjukkan pergolakan sejarah yang pernah terjadi di Banten, khususnya di Rangkasbitung sebagai salah satu kotaterpenting dalam aktivitas politik di Banten. Rangkasbitung dengan segala kekurangan dan kelebihannya memiliki posisi yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Kendati hanya sebuah kota kecil, Rangkasbitung, atau Kabupaten Lebak dalam skala yang lebih luas, merupakan memorabilia perjuangan bangsa yang sudah selayaknya diperkenalkan ke segala penjuru Indonesia, bahkan dunia.

Oleh karena itu, penting bagi segenap komponen masyarakat di Kabupaten Lebak untuk bersama-sama mengambil hikmah dari sejarah dan mewarisi serta memaknai sifat radikalisme rakyat Banten dalam bingkai transformasi yang progresif. Penggalan kisah diatas, merupakan rekreasi ke masa lampau yang bertujuan merefleksikan kembali berbagai hal dimasa lalu, sehingga kita bersama dapat mengambil pelajaran serta melakukan kritik dan otokritik bagi diri kita, sebagai bagian dari sejarah Rangkasbitung.

Sejarah ibarat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tanpa KTP kita takkan memiliki identitas, yang tentu akan sangat merepotkan. Begitu pula sejarah, tanpa seorang individu atau sekelompok masyarakat, bagaikan kehilangan ingatan (amnesia) dan tak memiliki jati diri. Dan Rangkasbitung, adalah seumpama satu pilar penyanggga bangunan sejarah Indonesia. Menghilangkan peran Rangkasbitung dalam sejarah Indonesia, sama halnya dengan meruntuhkan bangunan sejarah itu sendiri.

Sejalan dengan semua itu, Rangkasbitung sebagai salah sebuah kota bersejarah, menyimpan berbagai memori penting dalam kaitannya dengan sejarah Indonesia. Sejak zaman kolonial hingga awal kemerdekaan, Rangkasbitung terkenal sebagai salah satu pusat radikalisme rakyat Banten. Selain beberapa peristiwa penting, juga banyak tokoh nasional yang dilahirkan atau mengawali karirnya di kota ini.

Bagi Benjamin Mangkoedilaga misalnya, mantan hakim agung yang terkenal karena keberaniannya memutus TEMPO tak bersalah dalam kasus pembredelan tahun 1994, Rangkasbitung adalah sebuah kota yang memberinya inspirasi. Dari kota ini pula ia memulai kesuksesannya sebagai hakim. Oleh karena itu, untuk mengenang kembali pergaulannya dengan Rangkasbitung, ia menulis sebuah buku dengan judul ”Dari Alun-alun Timur Rangkasbitung ke Medan Merdeka Utara”.

Wajar jika W.S. Rendra menciptakan sebuah puisi ”Doa Pemuda Rangkasbitung Rotterdam”, dan harapan ribuan warga lainnya: semoga tak ada lagi ketimpangan sosial-ekonomi yang mendera, tak ada lagi kemiskinan yang meililit dan tak ada lagi korupsi yang merajalela.

Sumber: