Ilmu layaknya isian risol, beraneka ragam namun satu kenikmatan.

Friday, June 21, 2013

Mengapa Korupsi Sulit Diberantas di Indonesia

9:24 PM Posted by Agus Hadi Muhidin , No comments

            Kisah korupsi di Indonesia selayaknya alunan nyanyian nina bobo terhadap anak kecil yang akan tidur, halusnya sentuhan dari suara sang pengadil membuat anak kecil itu tertidur dengan membawa mimpi yang ia harapkan indah. Namun sayang mimpinya tak seindah yang ia harapkan, karena penuh dengan birokrasi yang menjegal anak itu untuk menggapai mimpi indahnya. Cerita tersebut adalah analogi dari ekspektasi seorang anak yang ingin menggapai mimpinya, akan tetapi tidak tercapai dan terbungan di dunia yang penuh dengan kehancuran moral dan penuh pencitraan belaka.

             Sungguh mengenaskan jika Indonesia atau Ibu Pertiwi hancur berantakan. Pahlawan-pahlawan dan tokoh-tokoh yang dulu memerdekakan Indonesia dengan susah payah, mempertaruhkan keluarga, nyawa, ekonomi, dan energi yang besar seolah-olah hanya menjadi lukisan abstrak yang tidak indah untuk dipandang, dan tidak perlu diartikan makna dari lukisan tersebut. Sesungguhnya orang-orang terdahulu bisa menjadi panutan untuk yang akan datang.

Persoalan Korupsi di Indonesia telah menjadi permasalahan bangsa Indonesia dan rasanya belum terpecahkan. Bahkan korupsi menjadi budaya yang melekat  hampir di elemen masyarakat. Pernyatataan  Mahkamah Agung (MA) yang mengatakan bahwa  tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang harus segera diberantas. Namun rasanya statement ini hanyalah isapan jempol belaka dan tidak di barengi dengan semangat aparat penegak hukum dan pemerintah  untuk membuktikan  bahwa korupsi merupakan musuh bersama. Korupsi layaknya sebuah penyakit  yang ganas bagi republik ini. Perang terhadap korupsi terus digaungkan, tetapi tak kunjung membuahkan sebuah hasil  yang signifikan. Penyakit yang ganas ini telah menjalar ke tubuh yang lain . Korupsi telah menjalar ke seluruh lapisan masyarakat.

Sebuah survei terhadap penegakan supremasi hukum di 65 negara di dunia yang diselenggarakan organisasi nonprofit World Justice Project menyebutkan bahwa praktik korupsi di Indonesia sudah sangat menyebar luas. Dalam survei bertajuk World Justice Project 2011 Rule of Law yang dirilis United Press International, Indonesia masih berada di posisi bawah, baik secara regional maupun global.

Melihat situasi negara saat ini dalam keadaan bahaya (baca : kasus korupsi)  dan tidak adanya sinergitas antara instusi penegakan hukum  di NKRI, tidak memungkinan gerakan rakyat akan terjadi seperti 1998 ,karena rakyat geram kepada pemerintah yang selalu melindungi para koruptor. Apakah bangsa ini tidak jera dengan kondisi masa lalu? jawabannya hanyalah hati nurani yang bisa  menjawab dan membuktikannya. Kasus-kasus besar  selalu tertutup kasus-kasus baru selama kepentingan politik masuk dalam masalah  bahkan kasus korupsi bisa di deponering.

Susahnya memberantas korupsi di Indonesia selain karena sudah mendarah daging juga karena definisi korupsi yang tidak jelas. Menurut Purwadarminta, definisi korupsi dalam bahasa Indonesia adalah tindakan menyalahgunakan jabatan yang mengakibatkan kerugian negara. Dengan definisi ini, jika seorang pejabat menyalahgunakan jabatannya, tapi tidak merugikan negara maka tidak bisa dikatakan korupsi. Contohnya, seorang kepala gudang sembako menjual sembako yang ada di gudang lewat toko miliknya, lalu setelah laku ia kembalikan modal sembako tersebut ke gudang, sedangkan keuntungannya diambil oleh toko. Maka, tindakan seperti ini tidak bisa dikategorikan korupsi karena negara tidak dirugikan. Hal-hal seperti inilah yang menjadi korupsi terselubung,yang tidak bisa dituntut secara hukum. 

Namun, bila kita menggunakan definisi korupsi yang dikeluarkan WHO, yang  dalam salah satu kalimatnya disebutkan bahwa yang masuk perbuatan korupsi bila mengandung unsu“mengambil yang bukan haknya” maka tindakan di atas sudah termasuk kategori korupsi.

Bila ditelaah lebih jauh kegiatan korupsi dapat dilihat dari sisi psikologi karena korupsi merupakan penyakit moral. Korupsi merupakan patologi sosial-politik sebuah bangsa modern yang perlu dipahami setiap orang. Sebab setiap jiwa memiliki potensi untuk melakukan korupsi, kapan saja dan dimana saja. Karena itu, di sini persoalan korupsi perlu dikaji kembali dari aspek psikologis.

Profesor Komaruddin Hidayat dalam sebuah tulisan mengungkap pentingnya memahami kembali psikologi korupsi. Sebab, menurut Komaruddin, salah satu sifat bawaan manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain).

Dan juga, korupsi merupakan cara cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras dan membanting tulang. Secara psikologis, ungkap Komaruddin, seseorang akan mudah tergerak untuk melakukannya. Terlebih lagi dengan uang banyak di tangan dari hasil korupsi, maka segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara instan dan konstan. Mereka berpandangan bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang akan dibuat susah segalanya.

Dalam konteks inilah, para pakar psikologi korupsi memberikan informasi kenapa seseorang memiliki motivasi untuk bertindak koruptif. Beberapa motivasi berkorupsi yang dilakukan selama ini diantaranya yaitu, pertama, karena kebutuhan yang mendesak (corruption by need). Prilaku ini biasanya muncul karena kebutuhan dan keperluan yang membuatnya harus memutuskan untuk berprilaku korupsi. Kedua, dari rasa keserakahan, muncullah corruption by greed. Ketiga, dari kecelakaan, terjadilah corruption by accident. Keempat, dari kesengajaan, muncullah corruption by design.

Semua motivasi di atas, umumnya bermula dari sebuah kebutuhan, lalu menjadi kebiasaan yang disengaja dan akhirnya menjadi petaka. Dalam konteks ini, semua pihak tentu perlu terus berusaha mencegah prilaku korupsi sejak dini. Paling tidak, cara yang bisa dilakukan dengan berusaha mendeteksi sejak dini melalui pemahaman psikologi korupsi di atas.

Jadi secara masif semua lapisan masyarakat sudah dibiasakan dengan budaya korupsi sejak mereka masih kecil hingga dewasa. Kejadian seperti contek masal yang terjadi di Surabaya misalnya adalah  adalah semacam bibit yang disemai para pendidik secara tidak sadar yang akan menjadikan para murid nantinya menjadi pelacur terpelajar. mereka rela berbohong secara masal demi mendapatkan nilai secara tidak berhak. Nilai-nilai semacam inilah sudah mulai dipupuk sejak masih anak-anak.

Sehingga tidak heran ketika seseorang beranjak dewasa mereka sudah tidak canggung lagi bersentuhan dengan suasana yang korup bahkan cenderung permisif dan toleran akan hal tersebut. Istilahnya korupsi dilakukan secara berjamaah, sehingga korupsi bukan lagi sesuatu yang tabu untuk dilakukan.

Dunia yang semakin materialistis juga mendorong perilaku ingin cepat kaya instan dan malas bekerja keras. Cara yang paling gampang adalah memanfaatkna kedudukan dan jabatan untuk memperkaya diri sendiri. Orang dengan kekayaan akan dipandang sebagai orang yang sukses dan dihormati terlepas dari mana kekayaan tersebut didapat. Orang berlomba untuk mendapatkan kekayaan agar bisa memperoleh kehormatan dan kekuasaan.

Jika dilihat para pejabat dan penguasa yang terlihat lebih kaya dari seharusnya sebagian justru terlihat sederhana. Mereka "mungkin" melakukan korupsi dan penyalahgunaan jabatannya untuk mendapatkan kekayaan yang tidak wajar. Akan tetapi kekayaan tersebut bukan untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi untuk keluarga, istri dan anak-anaknya. Sedangkan diri mereka sendiri mungkin termasuk orang dengan pola hidup yang sederhana. akan tetapi karena lingkungna mereka yang sangat menghargai kehidupan yang meterialistis, mau tidak mau mereka juga ikut dalam arus tersebut. Paling tidak istri dan anak-anaknya masuk dalam pergaulan yang sangat menghargai meterialisme.

Lalu bagaimana cara menanggulangi virus yang sudah akut ini dari tubuh Indonesia? Dalam dunia kedokteran, untuk memberantas sebuah penyakit dilakukan dengan lima prinsip. Tiga prinsip diantaranya bisa diterapkan untuk memberantas korupsi, yakni promotif, preventif, dan kuratif. Promotif artinya pemerintah harus lebih intensif melakukan edukasi kepada generasi muda agar tidak ikut-ikutan budaya korupsi. Preventif maksudnya melakukan pengawasan secara ketat terhadap kemungkinan-kemungkinan terjadinya korupsi. Tindakan ini lebih cocok dilakukan oleh BPK maupun KPK. Sedangkan kuratif, yaitu memberikan hukuman yang setimpal sebagai langkah penyembuhan pelaku korupsi. Penerapan langkah ini disesuaikan apakah koruptor perorangan atau kelompok. Kalau dalam syariat Islam, tentu sudah jelas tindakan kuratif dengan cara potong tangan. 

Inilah beberapa cara memberantas korupsi. Masalahnya bukan bisa atau tidak bisa memberantas korupsi, tapi mau atau tidak mau.

Referensi:




0 comments:

Post a Comment