Kisah korupsi di Indonesia selayaknya
alunan nyanyian nina bobo terhadap anak kecil yang akan tidur, halusnya
sentuhan dari suara sang pengadil membuat anak kecil itu tertidur dengan
membawa mimpi yang ia harapkan indah. Namun sayang mimpinya tak seindah yang ia
harapkan, karena penuh dengan birokrasi yang menjegal anak itu untuk menggapai
mimpi indahnya. Cerita tersebut adalah analogi dari ekspektasi seorang anak
yang ingin menggapai mimpinya, akan tetapi tidak tercapai dan terbungan di
dunia yang penuh dengan kehancuran moral dan penuh pencitraan belaka.
Sungguh mengenaskan jika Indonesia atau Ibu Pertiwi hancur berantakan.
Pahlawan-pahlawan dan tokoh-tokoh yang dulu memerdekakan Indonesia dengan susah
payah, mempertaruhkan keluarga, nyawa, ekonomi, dan energi yang besar
seolah-olah hanya menjadi lukisan abstrak yang tidak indah untuk dipandang, dan
tidak perlu diartikan makna dari lukisan tersebut. Sesungguhnya orang-orang
terdahulu bisa menjadi panutan untuk yang akan datang.
Persoalan
Korupsi di Indonesia telah menjadi permasalahan bangsa Indonesia dan rasanya
belum terpecahkan. Bahkan korupsi menjadi budaya yang melekat hampir di
elemen masyarakat. Pernyatataan Mahkamah Agung (MA) yang mengatakan bahwa
tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang harus segera
diberantas. Namun rasanya statement ini hanyalah isapan jempol belaka dan tidak
di barengi dengan semangat aparat penegak hukum dan pemerintah untuk
membuktikan bahwa korupsi merupakan musuh bersama. Korupsi layaknya sebuah
penyakit yang ganas bagi republik ini. Perang terhadap korupsi terus
digaungkan, tetapi tak kunjung membuahkan sebuah hasil yang signifikan.
Penyakit yang ganas ini telah menjalar ke tubuh yang lain . Korupsi telah
menjalar ke seluruh lapisan masyarakat.
Sebuah
survei terhadap penegakan supremasi hukum di 65 negara di dunia yang
diselenggarakan organisasi nonprofit World Justice Project menyebutkan bahwa
praktik korupsi di Indonesia sudah sangat menyebar luas. Dalam survei bertajuk
World Justice Project 2011 Rule of Law yang dirilis United Press International,
Indonesia masih berada di posisi bawah, baik secara regional maupun global.
Melihat
situasi negara saat ini dalam keadaan bahaya (baca : kasus korupsi) dan
tidak adanya sinergitas antara instusi penegakan hukum di NKRI, tidak
memungkinan gerakan rakyat akan terjadi seperti 1998 ,karena rakyat geram
kepada pemerintah yang selalu melindungi para koruptor. Apakah bangsa ini tidak
jera dengan kondisi masa lalu? jawabannya hanyalah hati nurani yang bisa
menjawab dan membuktikannya. Kasus-kasus besar selalu tertutup
kasus-kasus baru selama kepentingan politik masuk dalam masalah bahkan
kasus korupsi bisa di deponering.
Susahnya memberantas korupsi di Indonesia selain karena
sudah mendarah daging juga karena definisi korupsi yang tidak jelas. Menurut
Purwadarminta, definisi korupsi dalam bahasa Indonesia adalah tindakan
menyalahgunakan jabatan yang mengakibatkan kerugian negara. Dengan definisi ini, jika
seorang pejabat menyalahgunakan jabatannya, tapi
tidak merugikan negara maka tidak bisa dikatakan korupsi. Contohnya, seorang
kepala gudang sembako menjual sembako yang ada di gudang lewat toko miliknya,
lalu setelah laku ia kembalikan modal sembako tersebut ke gudang, sedangkan
keuntungannya diambil oleh toko. Maka, tindakan seperti ini
tidak bisa dikategorikan korupsi karena negara tidak dirugikan. Hal-hal seperti
inilah yang menjadi korupsi terselubung,yang tidak bisa dituntut secara
hukum.
Namun, bila kita menggunakan definisi korupsi yang
dikeluarkan WHO, yang dalam salah satu kalimatnya disebutkan bahwa yang
masuk perbuatan korupsi bila mengandung unsur “mengambil yang bukan
haknya” maka tindakan di atas sudah termasuk kategori korupsi.
Bila
ditelaah lebih jauh kegiatan korupsi dapat dilihat dari sisi psikologi karena
korupsi merupakan penyakit moral. Korupsi merupakan patologi sosial-politik sebuah
bangsa modern yang perlu dipahami setiap orang. Sebab setiap jiwa memiliki
potensi untuk melakukan korupsi, kapan saja dan dimana saja. Karena itu, di
sini persoalan korupsi perlu dikaji kembali dari aspek psikologis.
Profesor
Komaruddin Hidayat dalam sebuah tulisan mengungkap pentingnya memahami kembali
psikologi korupsi. Sebab, menurut Komaruddin, salah satu sifat bawaan manusia
itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari
penderitaan (pain).
Dan
juga, korupsi merupakan cara cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras
dan membanting tulang. Secara psikologis, ungkap Komaruddin, seseorang akan
mudah tergerak untuk melakukannya. Terlebih lagi dengan uang banyak di tangan
dari hasil korupsi, maka segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan
lain yang dapat dibeli dengan uang secara instan dan konstan. Mereka
berpandangan bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang akan dibuat
susah segalanya.
Dalam
konteks inilah, para pakar psikologi korupsi memberikan informasi kenapa
seseorang memiliki motivasi untuk bertindak koruptif. Beberapa motivasi
berkorupsi yang dilakukan selama ini diantaranya yaitu, pertama, karena
kebutuhan yang mendesak (corruption by need). Prilaku ini biasanya
muncul karena kebutuhan dan keperluan yang membuatnya harus memutuskan untuk
berprilaku korupsi. Kedua, dari rasa keserakahan, muncullah corruption
by greed. Ketiga, dari kecelakaan, terjadilah corruption by
accident. Keempat, dari kesengajaan, muncullah corruption by design.
Semua
motivasi di atas, umumnya bermula dari sebuah kebutuhan, lalu menjadi kebiasaan
yang disengaja dan akhirnya menjadi petaka. Dalam konteks ini, semua pihak
tentu perlu terus berusaha mencegah prilaku korupsi sejak dini. Paling tidak,
cara yang bisa dilakukan dengan berusaha mendeteksi sejak dini melalui
pemahaman psikologi korupsi di atas.
Jadi
secara masif semua lapisan masyarakat sudah dibiasakan dengan budaya korupsi
sejak mereka masih kecil hingga dewasa. Kejadian seperti contek masal yang
terjadi di Surabaya misalnya adalah adalah semacam bibit yang disemai
para pendidik secara tidak sadar yang akan menjadikan para murid nantinya
menjadi pelacur terpelajar. mereka rela berbohong secara masal demi mendapatkan
nilai secara tidak berhak. Nilai-nilai semacam inilah sudah mulai dipupuk sejak
masih anak-anak.
Sehingga
tidak heran ketika seseorang beranjak dewasa mereka sudah tidak canggung lagi
bersentuhan dengan suasana yang korup bahkan cenderung permisif dan toleran
akan hal tersebut. Istilahnya korupsi dilakukan secara berjamaah, sehingga
korupsi bukan lagi sesuatu yang tabu untuk dilakukan.
Dunia
yang semakin materialistis juga mendorong perilaku ingin cepat kaya instan dan
malas bekerja keras. Cara yang paling gampang adalah memanfaatkna kedudukan dan
jabatan untuk memperkaya diri sendiri. Orang dengan kekayaan akan dipandang
sebagai orang yang sukses dan dihormati terlepas dari mana kekayaan tersebut
didapat. Orang berlomba untuk mendapatkan kekayaan agar bisa memperoleh
kehormatan dan kekuasaan.
Jika
dilihat para pejabat dan penguasa yang terlihat lebih kaya dari seharusnya
sebagian justru terlihat sederhana. Mereka "mungkin" melakukan
korupsi dan penyalahgunaan jabatannya untuk mendapatkan kekayaan yang tidak
wajar. Akan tetapi kekayaan tersebut bukan untuk diri mereka sendiri. Akan
tetapi untuk keluarga, istri dan anak-anaknya. Sedangkan diri mereka sendiri
mungkin termasuk orang dengan pola hidup yang sederhana. akan tetapi karena lingkungna
mereka yang sangat menghargai kehidupan yang meterialistis, mau tidak mau
mereka juga ikut dalam arus tersebut. Paling tidak istri dan anak-anaknya masuk
dalam pergaulan yang sangat menghargai meterialisme.
Lalu
bagaimana cara menanggulangi virus yang sudah akut ini dari tubuh Indonesia? Dalam dunia kedokteran, untuk memberantas sebuah penyakit
dilakukan dengan lima prinsip. Tiga prinsip diantaranya bisa diterapkan untuk
memberantas korupsi, yakni promotif, preventif, dan kuratif. Promotif
artinya pemerintah harus lebih intensif melakukan edukasi kepada generasi muda
agar tidak ikut-ikutan budaya korupsi. Preventif maksudnya melakukan pengawasan
secara ketat terhadap kemungkinan-kemungkinan terjadinya korupsi. Tindakan ini
lebih cocok dilakukan oleh BPK maupun KPK. Sedangkan kuratif, yaitu memberikan
hukuman yang setimpal sebagai langkah penyembuhan pelaku korupsi. Penerapan
langkah ini disesuaikan apakah koruptor perorangan atau kelompok. Kalau dalam
syariat Islam, tentu sudah jelas tindakan kuratif dengan cara
potong tangan.
Inilah beberapa cara memberantas korupsi. Masalahnya
bukan bisa atau tidak bisa memberantas korupsi, tapi mau atau tidak mau.
Referensi:
0 comments:
Post a Comment