Membicarakan
hukum itu tidak ada habisnya, selayaknya berkas hakim dikala sedang mengadili
terpidana suatu kasus. Tebalnya berkas pun berkorelasi dengan apa yang telah
diperbuat oleh terdakwa, mungkin ada yang tipis hanya sebatas maling ayam atau bahkan ada yang setebal tumpukan buku-buku yaitu milik
sang tikus berdasi yang dicintai oleh
hukum. Mengapa harus dicintai? Hukum selayaknya dirancang dan dibuat oleh para
pemangku kekuasaan di singgahsana yanga katanya
mengatasnamakan rakyat, padahal salah satu oknum
tikus yang usil ada di sana. Jadi hukum pun dibuat oleh orang yang korupsi
dan mngerti akan tindakkannya yang melanggar hukum, dan dia pun mengetahui
caranya meloloskan diri dari jerat jeruji
besi.
Oh...
pasti ini di Indonesia! Itu lah salah satu pikiran yang ada di kepala anda. Iya
itu tidak salah, karena memang sudah menjadi kenyataan dan seaakan menjadi
rutinitas setiap tahunnya pasti selalu ada kasus baru tentang korupsi sang tikus berdasi. Mencengangkan! Salah satu
kata yang paling laris dijadikan headline news, para media masa seaakan ingin
memperlihatkan sifat hedonisme para koruptor yang terlihat dari kekayaannya.
Keadaan seperti ini berbeda sekali dengan masa penjajahan, sekarang seaakan
taji Indonesia menghilang seiring trik dan intrik yang dimanipulasi oleh
segelintir orang yang haus akan
kekuasaan dan harta.
Banyak
sekali tersangka koruptor yang tidak merasa dihukum, seakan-akan dia sedang
beristirahat sejenak seblum memikirkan pekerjaan kotor apa lagi yang akan diperbuatnya.
Sebetulnya masyarakat sudah jengah dengan melihat berita di media massa yang
selalu mengangkat topik korupsi yang seakan tidak akan pernah angkat kaki dari
negeri ini. Akan tetapi masyarakat hanya bisa diam dan pasrah dengan keadaan
ini, mengingat mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena hukum di Indonesia
hanyalah permainan bagi yang berpunya.
Jika
kita ibaratkan hukum seperti bentuk wajah maka wajah hukum di Indonesia itu
sangatlah lengkap, dia mempunyai mata, hidung, dan mulut, tetapi masih ada saja
luka dan goresan dalam wajah tersebut. Ini artinya bahwa sistem hukum di
Indonesia sudah sangatlah lengkap tetapi pada kenyataannya sering terjadi
penyelewangan hukum yang membuat citra hukum itu menjadi rusak.
Di
sisi lain, keadilan hukum tampaknya belum seluruhnya tercapai karena terdapat
ketimpangan keadilan hukum di Indonesia. Contohnya bisa kita lihat dari
pemberitaan media dua tahun yang lalu: kasus yang menjerat rakyat kecil seperti
kasus Mbok Minah (2009) yang dituduh mencuri 3 buah kakao yang jatuh dari
pohonnya dan diancam hukuman penjara. Menurut hati nurani kita, mungkin kasus
tersebut tidak perlu sampai diperkarakan di pengadilan, tetapi fakta hukum
berkata lain.
Beda
koruptor beda Mbok Minah, terkadang para koruptor masih aman-aman saja di
Indonesia -- tanpa proses hukum atau mungkin bisa kabur ke luar negeri,
sedangkan nasib orang-orang kecil seperti Mbok Minah dirampas haknya. Ironis.
Mungkin benar ungkapan masyarakat luas terhadap penegakan hukum di
Indonesia: “yang kuat yang akan menang karena banyak uang,” sungguh
miris kita mendengarnya.
Permasalahan
hukum di Indonesia bukan saja mengenai korupsi, masih banyak pelanggaran hukum
lain yang entah mengapa seakaan hukum tidak berani menegakkan pedangnya. Mulai
dari kasus HAM yang tidak pernah terselesaikan hingga saat ini, padahal jejak
tersangka dan dalang-dalangnya sudah diketahui. Akan tetapi lagi-lagi hukum pun
bisa bicara lain, dan akhirnya seperti sekarang ini tidak tahu arahnya.
Sebetulnya Indonesia semakin berkembang seiring semakin terbukanya perekonomian
Indonesia akan investasi asing, tetapi hukum tentang pengaturan investasi dan
ekspor impor pun seperti kurang berpihak terhadap bangsa pribumi. Lihat saja
contoh terbesar saudara kita di timur sana, mereka menjadi korban atas kebijakan
penguasa dengan memberikan ijin untuk mengeksploitasi tambang. Tetapi walaupun
UUD’45 telah mengatur bahwa semua sumber daya alam yang dimiliki Indonesia
adalah milik rakyat dan untuk rakyat.
Sehingga
bukan hal yang aneh jika suatu waktu asing memainkan harga minyak dunia (CPO)
dan akan berimbas pada perekonomian Indonesia, karena Indonesia tergabung dalam
OPEC sehingga harus mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Bukan saja
minyak bumi yang menjadi monopoli asing, tetapi yang akhir-akhir ini adalah
komoditi bawang dan daging sapi yang ternyata ketergantungan pada impornya
masih tinggi. Kemana regulasi hukum yang mengatur tentang hal ini? Kenapa baru
sekarang terpikirkan ternyata Indonesia masih mengimpor bawang? Padahal lahan
pertanian Indonesia itu luas dan subur, itulah hasil dari kebijkan hukum yang
kurang berfungsi pada pengaturan ekonomi Indonesia.
Tidak
bisa dipungkiri, realita wajah hukum di Indonesia memang seperti ini, keadilan
terkadang sulit tercipta. Padahal, tujuan mulia hukum sebenarnya adalah untuk
kepentingan manusia. Hukum juga bertujuan untuk membuat ketertiban masyarakat
melalui proses yang berkeadilan. Meminjam pernyataan Profesor Satjipto
Rahardjo: “hukum harus digali dengan upaya-upaya progresif untuk
menggapai terang cahaya kebenaran dan menggapai keadilan.”
Referensi:
http://rumahnarasi.blogspot.com/2011/09/wajah-hukum-di-indonesia-keadilan-dan.html
http://yudicare.wordpress.com/2011/03/19/kritik-atas-undang-undang-penanaman-modal-di-indonesia/
http://www.hukumonline.com/pusatdata/UU_NO_25_2007.htm
0 comments:
Post a Comment