Aksi
provokativ tiga negara tetangga pada Indonesia adalah terstruktur dengan rapi
dan satu komando. Tujuan ketiga negara itu dalam satu koridor kerjasama
pertahanan yang saling mendukung sesuai piagam Commonwealth atau
persemakmuran. Memang ada teori "kebetulan" dalam pandangan awam
ketika Australia menggebah pencari suaka ke wilayah Indonesia. Atau munculnya
sekoci berwarna oranye di perairan selatan, kemudian Singapura tiba tiba melakukan
protes penamaan KRI Usman Harun. Bersahutan kemudian dengan pembakaran kapal
nelayan asal Papua di perairan Papua New Guinea (PNG).
Setelah
Malaysia gagal melakukan tugasnya dengan baik, tiga negara lain yang sesama
bertuan pada Ratu Elisabeth di Buckingham mengambil alih. Yang menjadi
pertanyaan dan seolah tidak terpikirkan oleh masyarakat Indonesia adalah,
" Apakah ada skenario
kebetulan - kebetulan yang bukan merupakan sebuah kebetulan? "
Pertama,
pemberian nama Kapal Perang Indonesia sebagai KRI Usman - Harun sebenarnya
tidak seketika, perlu waktu dan sejak awal pembangunan kapal sudah dirumuskan.
Lalu diputuskan tepatnya pada 12 Desember 2012 setelah melalui diskusi yang
panjang. Singapura sebenarnya sejak awal juga sudah tahu, lalu mengapa mempermasalahkannya
saat ini?
Kedua,
Australia yang mengalami pergantian tampuk pimpinan, sejak Tony Abbott menjadi
Perdana Menteri memang terlihat bertolak belakang dengan Kevin Rudd atau Julia
Gillard. Namun Abbott tidak punya pilihan selain memainkan perannya, setidaknya
sampai misi terselesaikan. Sampai jelas siapa yang menjadi koleganya di
Jakarta.
Ketiga,
PNG yang selama ini nyaris tidak pernah tercetak dalam berita di koran koran
Indonesia, yang tidak ingin belahan barat Cendrawasih lebih makmur, hanya memainkan
peran yang jadi bagian mereka. Kenapa mereka melakukan aksi yang sadis disaat
sekarang?
Keempat,
Indonesia sedang menjalani proses pergantian kepala negara dan akan menghadapi
pemilu parlemen dalam tahun ini. Ini adalah tahun yang krusial dan menentukan
bagi Indonesia dan kawasan. Pemimpin Indonesia terpilih adalah yang paling
"berkuasa dan menentukan" di Asia Tenggara serta berpengaruh di Asia
Pasifik, situasi politik Indonesia akan menjadi hitungan kebijakan politik luar
negeri setiap pemerintahan, khususnya kawasan Pasifik. Sekali lagi... ini bukan
narsisme, ini adalah kenyataan tentang bagaimana dunia memandang posisi
Indonesia sejak jaman Bung Karno.
Sekali
dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Amat
disayangkan jika nama Usman - Harun dipandang sebagai masalah ketidaknyamanan
Singapura pada Indonesia. Demikian pula dengan pelecehan oleh Australia atas
teritorial Indonesia hanya sebatas Aussie versus RI karena imigran gelap
semata. Atau aksi barbar PNG pada nelayan kita hanyalah pelanggaran batas laut
dalam kebetulan yang bersamaan?. Tidak..!
Ada
pola yang tidak terdeteksi umum, sebab kita diarahkan agar melihat masalah
dengan setiap negara itu adalah hitam putih, berdiri sendiri dan masing masing.
Padahal, kita harusnya bersikap kritis dan jeli dalam memantau perkembangan
negara ini dan kaitannya dengan hubungan antarbangsa. Kepentingan blok blok
global atas keberadaan Indonesia sering tidak menjadi bagian analisis awal,
sehingga kita hampir selalu terlambat bereaksi dan menentukan posisi.
Singapura,
Australia dan PNG serta Malaysia bekerja dalam irama yang sama dan terpola
dengan baik dalam satu dirigen orkestra. Tujuannya adalah memastikan beberapa
hal yang ingin diketahui dan dipastikan sesuai keinginan dengan memanfaatkan
momentum poin keempat tadi ( pemilu 2014 ). Apa saja tujuannya?
1. Memancing informasi kekuatan
Militer Indonesia sesunggunya.
Data
yang dikumpulkan secara berkesimbungan oleh AS, Singapura, Malaysia hingga
Australia NewZealand (ANZ) dianggap tidak presisi. Ada perbedaan antara anggaran
yang minim, jumlah Alutsista dengan daya tempur TNI yang dipantau. Dukungan
dana dan teknologi persenjataan yang minimal berbanding terbalik dengan daya
pukul TNI. Militer Indonesia selama ini dianggap masih misterius oleh kekuatan
utama dunia.
Seperti
juga militer negara lain, memang seperti itulah seharusnya TNI menjaga
kerahasiaan kekuatannya. Namun, misteri kekuatan militer Indonesia dianggap
lebih penting untuk diukur karena faktor sejarah penggagas Non Blok yang
disandangnya.
Australia
yang selalu mengarahkan matanya pada militer Indonesia sering merasa tertipu
ketika melihat kemampuan para prajurit TNI. Malaysia sendiri harus merasakan
malu ketika manuver kapal TLDM di laut Ambalat terusir bukan saja oleh KRI yang
lebih kecil, tetapi oleh keberadaan dua prajurit marinir di anjungan kapal
mereka. Entah bagaimana keduanya bisa naik dan entah sejak kapan, tetapi
keduanya sukses memaksa kapal TLDM berbalik arah meninggalkan Ambalat.
Dengan
provokasi ini diharapkan akan muncul banyak informasi tentang jumlah kekuatan
tentara indonesia dan persenjataannya secara resmi baik di media media
terpercaya maupun dari pihak Indonesia sendiri. Daya gertak TNI tidak sehebat
China atau Iran , namun disinilah letak rasa penasaran para tetangga kita.
2. Memancing reaksi sahabat lama.
Singapura
sukses jalankan misinya, setidaknya saat ini karena Rusia muncul ke permukaan
dalam memandang masalah yang dianggap cukup hangat. Indonesia mungkin tidak
berminat berperang dengan Singapura, namun Rusia memandang perlu memberi sinyal
bantuan jika sesuatu berjalan tidak kondusif. Kemunculan Rusia ini tidak biasa
dan bukan hal gegabah, karena si beruang merah cenderung menjauh selama Orde
Baru dan menjaga jarak selama SBY berkuasa. Moskow sengaja menanggapi keusilan
Singapura, namun mereka juga memberi pesan jelas akan posisinya yang melihat
pola satu komando pada kelakuan PNG dan Australia.
Bukan
berarti Rusia terjebak pada permainan Singapura, melainkan permainan
selanjutnya, yang lebih panas sedang menjadi sasaran Rusia, yaitu Indonesia
tidak akan dibiarkan seperti Mesir atau Suriah. Artinya, pesan jelas Rusia
ditujukan bagi "dirigen" kuartet (Malaysia, Singapura, PNG dan
Australia), agar tidak mencoba memaksakan pemimpin sesuai pilihan mereka di
Indonesia seperti yang sudah mereka lakukan di Mesir atau coba paksakan di
Suriah.
3. Pemimpin pesanan sang Dirijen.
Indonesia
diharapkan memilih pemimpin yang sesuai selera adidaya, seseorang yang berpihak
pada kelangsungan hidup sekutunya di kawasan. Singapura yang kecil tidak akan
bisa hidup makmur jika Indonesia tidak memberi keistimewaan, demikian pula
Australia apalagi hegemoni Amerika akan jauh surut tanpa Indonesia. Penting
juga diketahui posisi tentara indonesia akan berpihak kemana kepada siapa dalam
hal sengketa dengan China soal Laut China Selatan.
Semua
kepentingan di atas butuh seseorang yang sesuai keinginan dan menguntungkan
sang Adidaya, dan itu adalah seseorang yang sebaiknya mirip SBY atau Pak Harto.
Meski dari kalangan militer, bahkan keduanya adalah Jenderal, namun mereka
adalah anak emas yang tidak segan tunduk pada Amerika. Amerika sangat tidak menyukai
pemimpin yang idealis seperti Gusdur atau Megawati apalagi Soekarno yang Non
Blok.
Kriteria
presiden Indonesia yang diinginkan oleh Washington adalah latar belakang
pengusaha atau militer, idealisme liberal, dan bukan nasionalis Sukarnois atau
Islamis. Singapura sangat inginkan sosok Prabowo atau Wiranto yang memimpin
Indonesia, keduanya adalah sahabat dekat Singapura.
Gangguan
gangguan yang bernuansa kekerasan dan militer tiga negara tetangga itu
ditujukan untuk memberi gambaran potensi perang Indonesia. Dalam keadaan
kondisi geopolitik kawasan yang tegang, diharapkan rakyat Indonesia memilih
pemimpin dari kalangan militer. Apa yang dilakukan oleh Singapura, PNG dan
Australia adalah provokasi untuk menggiring opini bahwa Indonesia kini dan
kedepan masih butuh presiden dari kalangan militer.
4. Laut China Selatan.
Beberapa
hari yang lalu, China melakukan latihan perang di wilayah perairan
internasional yang dekat dengan Pulau Christmas setelah melintasi Selat Sunda.
Pihak Australia pun mengakui hal tersebut seperti diberitakan Sidney Morning
Herald, Kamis (13/2/2014).
Sumber:
AL China/okezone.com
Apa
yang dilakukan China di laut selatan Jawa itu adalah legal menurut hukum
Internasional karena latihan berlangsung di perairan internasional. Selain itu
latihan mereka hanya bentuk manuver dan membidik tetapi tidak menggunakan
amunisi persenjataan. Namun tindakan China ini disinyalir untuk menunjukkan
kekuatan angkatan lautnya kepada dunia internasional. Dan itu semua dilakukan
di tengah kebijakan pertahanan Australia lebih banyak berfokus kepada Indonesia
dan kekuatan lain di Asia Timur.
Hal
ini semakin menarik ketika posisi Indonesia yang tidak memihak pada konflik
laut sengketa di Laut China Selatan, sementara China selalu mengingatkan
dukungannya pada Indonesia terkait Papua. Kampanye kekuatan armada China memang
tidak hanya ditujukan kepada Australia tetapi juga kepada wilayah Asia Pasifik
secara keseluruhan. Ini juga termasuk memberikan pesan kepada Amerika Serikat
(AS) dan India, bahwa kedua negara itu tidak bisa memblokir jalur laut yang vital
melalui Selat Malaka.
Langkah
China dianggap mendapat ijin restu dari Indonesia sebagai pemilik alur laut
[ALKI] menuju perairan Samudera Hindia yang menjadi prioritas strategis baru
mereka. Hal ini sekaligus menunjukkan kesiapan China dalam mengerahkan militer
untuk melindungi kepentingannya di wilayah tenggara bila dibutuhkan. Termasuk
membantu kepentingan geopolitik bersama Rusia di Indonesia khususnya.
China
sebagai pemain utama baru yang menandingi dominasi Amerika perlu terus
meningkatkan kekuatan di Asia dan secara global. Indonesia perlu melihat
tindakan China, tanggapan Dubes Rusia dan provokasi tiga negara sebagai bentuk
tarik menarik "perhatian" Indonesia sebagai negara seksi nan besar.
Keberpihakan pemimpin yang akan dipilih, menakar kekuatan militer sesungguhnya,
siapa pembela Indonesia selain Rusia hingga mengarahkan opini pemilih adalah
"sekali dayung, dua tiga pula terlampaui". Itulah tujuan keusilan
tiga negara tetangga tadi.
Mentalitas
kita yang inferior sering menghambat rasa percaya diri, sehingga terjebak pada
pemikiran bahwa masalah yang terjadi dengan negara tetangga hanyalah masalah
antar dua negara (bilateral). Kita tidak terbiasa berpikir dan mencantumkan
analisa betapa kita disegani dan ditakuti oleh pihak asing. Ini bukan bentuk
narsisme, bukan pula superioritas, tetapi bentuk penghargaan dan rasa percaya
pada diri sendiri.
Adakah
kita mau terjebak permainan negara tetangga itu dengan mengumbar keinginan
perang karena amarah? Atau kita mengikuti keinginan mereka dengan tergiring
opini agar memilih pemimpin dari kalangan militer karena menganggap situasi
tidak kondusif? Itu semua ditangan anda .